Sejarah PMII
ORASI ILMIAH
DALAM RANGKA PELANTIKAN PMII KOMISARIAT STAI AL-HAMIDIYAH
ABDUL RASID WAKET I BIDANG ADMINISTRASI AKADEMIK
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarkatuh
Salam Pergerakan
A. SELAYANG PANDANG PMII
1. Sejarah PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati14 Juli1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi danSubhan ZE (seorang jurnalis sekaliguspolitikus legendaris).
2. Latar belakang pembentukan PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama’ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
a. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
b. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
c. Pisahnya NU dari Masyumi.
d. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
e. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.
3. Organisasi-organisasi pendahulu
Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma’il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.
4. Konferensi Besar IPNU
Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
a. Khalid Mawardi (Jakarta)
b. M. Said Budairy (Jakarta)
c. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
d. Makmun Syukri (Bandung)
e. Hilman (Bandung)
f. Ismail Makki (Yogyakarta)
g. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
h. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
i. Laily Mansyur (Surakarta)
j. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
k. Hizbulloh Huda (Surabaya)
l. M. Kholid Narbuko (Malang)
m. Ahmad Hussein (Makassar)
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.
5. Deklarasi
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.
6. Independensi PMII
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.
7. Makna Filosofis
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45 dan yang lebih dikenal dengan NKRI ekarang.
B. SEJARAH STAI AL-HAMIDIYAH
Berdirinya STAI Al-Hamidiyah Bangkalan tidak terlepas dari sejarah berdirinya Pondok Pesantren Al-Hamidiyah terletak di Desa Sen-Asen Kecamatan Konang Kabupaten Bangkalan Madura, pelosok desa dengan sosial ekonomi masyarakatnya sangat lemah dan taraf pendidikannya tergolong rendah. Mata pencaharian penduduk sekitar pondok pesantren adalah bercocok tanam dengan sistem pertanian tadah hujan, dan sebagian ada yang berurbanisasi ke kota bahkan menjadi TKI ke luar negeri.
Berangkat dari faktor di atas diiringi oleh kemauan hati yang ikhlas KH.Zarkasy Abdul Hamid sebagai pengasuh pertama dan sekaligus perintis Pondok Pesantren Al-Hamidiyah bersama tokoh masyarakat setempat berusaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan upaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan, sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Negara Republik Indonesia yaitu untuk “membangun manusia seutuhnya”. Dan hal tersebut juga telah diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke tiga yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Kemudian pada tahun 1975 dengan modal swadaya masyarakat didirikanlah sebuah surau (pondok kecil) yang pada awalnya hanya dijadikan tempat para santri yang berasal dari masyarakat sekitar untuk belajar al-Qurān dan belajar kitab kuning. Akan tetapi dengan antusiasnya masyarakat ditandai dengan banyaknya santri yeng berdatangan untuk belajar bukan hanya dari masyarakat sekitar tetapi juaga berasal dari luar daerah bahkan dari luar pulau seperti Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Sumatera dan Jawa dengan jumlah santri pada waktu itu + 80 0rang. Melihat banyaknya santri yang ingin belajar dan mayoritas menetap/tinggal di pondok pesantren, maka pengasuh berinisiatif untuk mendirikan Madrasah Diniyah Salāfīyah untuk dijadikan tempat belajar para santri dengan sistem klasikal.
Pada tahun 1979 gedung Madrasah Diniyah Salāfīyah Al-Hamidiyah sebagai madrasah pertama di Kecamatan Konang selesai dibangun. Hal tersebut menjadikan Pondok Pesantren Al-hamidiyah semakin dikenal di wilayah Kecamatan Konang dan sekitarnya, walaupun berada jauh di pedalaman, jumlah santri mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga pada waktu itu jumlah santri + 500 orang putra dan putri.
Sepuluh tahun Pondok Pesantren Al-Hamidiyah berjalan dengan pola manajemen salafiyah murni yang hanya berorientasi pada pendidikan agama dengan mengadopsi model dan sistem pembelajaran Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Mata pelajaran umum seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sekarang menjadi PKn, pelajaran Matematika, pelajaran Bahasa Indonesia dijadikan mata pelajaran wajib di madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah sampai tingkat Tsanawiyah. Dan juga memberikan pelajaran tambahan tentang Ahlu al-Sunnah wa al-Jamāáh (aswaja) yang berisi tentang materi ke NU-an. Sedangkan ijazah yang didapat oleh para santri ketika lulus adalah ijazah lokal yang dikeluarkan oleh pengasuh pondok pesantren dan belum diakui oleh pemerintah baik oleh Departemen Agama (Depag) maupun oleh Departemen Pendidikan Nasional (Diknas).
Berawal dari kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman, K.Abdullah Dahlawie Zarkasy (calon pengasuh kedua) bersama tokoh masyarakat, pengurus pesantren, dan wali santri mengadakan musyawarah untuk menformalkan lembaga madrasah yang ada untuk mengikuti program kurikulumm pemerintah bernaung dibawah Departemen Agama (Depag), sehingga harapannya para alumni santri Pondok Pesantren Al-Hamidiyah memiliki ijazah formal yang secara legal diakui oleh pemerintah. Dan hasilnya dilaporkan kepada KH. Zarkasy Abdul Hamid sebagai perintis dan beliau merestui.
Atas dukungan dari KH. Zainal Abidin, BA (tokoh muda dan aktifis NU Bangkalan, sekarang menjadi pengasuh PP.Assomadiyah Burneh Bangkalan), Bapak Jufri Agus, BA (pengawas pendidikan agama Islam kecamatan Konang, sekaligus mewakili Departemen Agama Kabupaten Bangkalan), H.Moh.Holil dan H.Moh.Sukri sebagai wakil dari tokoh masyarakat, maka Madrasah Diniyah Salafiyah Al-Hamidiyah resmi di untuk diformalkan menjadi lembaga madrasah yang mengikuti kurikulum pemerintah di bawah naungan Departemen Agama (Depag).
Pada tahun 1986 Departemen Agama Kabupaten Bangkalan mengeluarkan surat ijin operasional Madrasah Ibtidaiyah, dan tiga tahun kemudian madrasah ibtidaiyah Al-Hamidiyah diperbolehkan mengikuti Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) sekarang Ujian nasional (UN), karena sudah dianggap memenuhi syarat dengan bukti proses KBM sudah berjalan efektif mulai dari kelas I sampai dengan kelas VI, dan materi pembelajara sudah dianggap cukup kerena sudah mencakup dua aspek yaitu mata pelajaran Agama (al-Qurān Hadīs, Fiqih, Aqidah Akhlak, Bahasa Arab, dan SKI), juga mata pelajaran umum (PMP, Matematika, Bahasa Indonesia).
Setelah lulus dari madrasah Ibtiaiyah Al-Hamidiyah masih banyak para santri yang masih ingin belajar dan menimba ilmu di pondok pesantren kemudian calon pengasuh muda K.Abdullah dahlawie Zarkasy membuka lembaga atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) sebagai lanjutan dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada tahun 1989, kemudian membuka Madrasah Aliyah (MA) pada tahun 1992. Setelah itu pada tahun 1996 dengan berawal dari 14 calon mahasiswa K.Abdullah Dahlawie berani membuka perguruan tinggi dengan nama “Ma’had Ali” kemudian menjadi STAI Al-Hamidiyah yang difilialkan ke sebuah lembaga perguruan tinggi swasta STIT Taruna Surabaya yang berada di Jl.Rungkut Mejoyo Surabaya. Kemudian dengan kegigihan beliau pada tahun 2003 STAI Al-Hamidiyah Bangkalan baru mendapatkan ijin operasional dari Depertemen Agama Jakarta melalui Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertais) wilayah IV yang berada di Lingkungan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sebuah perjalanan panjang (riĥlah al-Ilmiyah) yang sangat melelahkan dengan hasil yang cukup memuaskan untuk menbangun umat Islam kedepan menjadi khaira al-Ummah.
Ămu al-Husni (tahun kesedihan) menimpa Pondok Pesantren Al-Hamidiyah setelah pengasuh pertama KH. Zarkasy Abdul Hamid berpulang ke rahmatullah pada tahun 1997. Beliau adalah seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan juga pernah menjadi panglima laskar Hisbullah wilayah Kalimantan Barat pada masa penjajahan Jepang, aktifis Pemuda Anshor bersama Bapak Hamzah Has (mantan Wakil Presiden RI mendampingi ibu Megawati Soekarno Putri).
Setelah itu sentral manajemen Pondok Pesantren Al-Hamidiyah berada di bawah pimpinan K.Abdullah Dahlawie Zarkasy sampai sekarang, dan beliau baru menunaikan ibadah haji pada tahun 1999. Di tangan beliaulah Pondok Pesantren Al-hamidiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat baik dari segi manajemen organisasi, manajemen administrasi, manajemen dan manajemen humas. Sehingga Pondok Pesantren Al-Hamidiyah dikenal sebagai pondok pesantren terpadu karena di dalamnya terdiri dari berbagai komponen lembaga mulai dari Dinīyah (pengajian kitab kuning, majlisal-Ta’līm, jam'iyah qirā'ah dan tilāwah, diba’īyah dan muhādlarah serta pendidikan Dikdas Pontren tingkat ulā dan wustā) sampai pendidikan formal (mulai dari tingkat MI, MTs dan SMP, MA dan SMK serta Perguruan Tinngi STAI Al-Hamidiyah). Semua jenjang lembaga mulai dari pondok pesantren memakai nama Al-Hamidiyah karena dinisbatkan kepada sesepuh yaitu KH. Abdul Hamid ayahnya KH. Zarkasy yang apabila dilihat dari silsilahnya termasu keturunan yang ke 21 dari Sunan Gunung Jati (R.Syarif Hidayatullah).
C. DUA PILAR MEMBANGUN BANGKALAN PASCA SURAMADU
Bangkalan merupakan salah satu Kabupaten terpenting di Jawa Timur, keberadaannya yang sangat penting, dapat diprediksikan nantinya Bangkalan akan menjadi incaran para investor lokal maupun para investor asing, yang berkeinginan menanamkan modalnya pasca Jembatan SURAMADUberoperasi.
Untuk menghadapi hal tersebut, setidaknya ada dua pelajaran penting yang harus menjadi pedoman bagi masyarakat Bangkalan, secara umum masyarakat Madura. Ada dua pilar penting yang harus dikedepankan oleh pemerintah dan masyarakat agar nantinya tidak mengalami kerugian yang berarti oleh hadirnya arus global, yang akanmempengaruhi corak sosial, ekonomi, budaya, dan cara beragama masyarakat Bangkalan Pasca Jembatan Suramadu.
Pertama,mau tidak mau harus tercipta pemerintahan yang bersih (clean governance), dan yang keduaadanya sistem pendidikan yang bagus (good education).Kedua hal ini, jika dikesampingkan, sebagaimana yang kita rasakan selama ini, akan berpengaruh pada bangkrutnya modal sosial dan kekayaan alam, setelah modal sosial dan kekayaan alam, akan muncul fakta selanjutnya, yakni krisis ekonomi yang berkepanjangan. Setelah ekonomi mengalami krisis, mulai muncul dekadensi moral.Pada titik ini, keadaan pemerintahan lemah, sementara masyarakatnya pesimis, karena dirundung berbagai problem sosial serta ekonomi yang semakin berat. Untuk terhindar dari itu semua, maka adanya pemerintahan yang bersih dan pendidikan yang bagus, sangat dimungkinkan masyarakat Bangkalan akan lolos dari kemungkinan krisis di segala bidang.
Sebagai masyarakat yang peka masa depan, menuntut adanya pengelolaan pemerintahan yang profesional dan akuntabel, perlu terus dikawal sebagai bagian nawacita hidup berdemokrasi, hingga menjadi kesadaran umum masyarakat. Prinsip-prinsip demokrasi dalam kontek Otonomi Daerah dikawal dengan adanya good governancedalam segala bidang,hingga mempengaruhi sistem pengelolaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dijalankan dengan baik oleh pemerintah bersama komponen masyarakat.
Sejalan dengan prinsip diatas, pemerintahan yang baik itu berarti baik dalam proses maupun hasilnya. Semua unsur pemerintahan dapat bergerak dan terlibat secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan rakyat, dan bebas dari gerakan anarkis yang bisa menghambat proses pembangunan, karena sesungguhnyapemerintahan dapat dikatakan baik, jika program pembangunan dapat dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun dengan hasil yang maksimal.
Saat ini, Bangkalan mebutuhkan figur pimpinan yang berlatar belakang Nasionalis dan Agamis sekaligus. Nasionalis berarti, ia memiliki darang juang, atau bahkan memiliki titisan darah juang. Sedangkan berlatar agamis,berarti berkarakter santri, mempunyai kemampuan di bidang agama, yang nantinya dijadikan landasan dalam merumuskan sebuah kebijakan yang tidak menyimpang dari garis-garis agama. Hal tersebut, merupakan perpaduan dua dimensi yang diharapkan menjadi solusi terbaik bagi masyarakat Bangkalan, umumnya masyarakat Madura dalam menyongsong berbagai kemungkinan yang akan terjadi pasca jembatan suramadu.
Sangat dimungkinkan, jika kabupaten Bangkalan memiliki pemerintahan yang demokratis dan pendidikan yang bagus, menatap masa depan akan lebih optimis, dan berani bersaing dalam percaturan dan persaingan global. Keanekaragaman budaya yang menjadi potensi terciptanya benturan antar masyarakat, akan dapat ditangkal dengan baik, karena pemerintahannya benar-benar ada di tengah-tengah masyarakat, yang artinya memantau segala yang terjadi di masyarakat.
Seperti yang kita tau, sistem pendidikan dan model pembelajaran di kabupaten Bangkalan, lebih banyak lembaga pendidikan pesantren, dan dari sekian yang adamasih banyak yangbersifat klasik, yaitu hanya terfokus pada pembentukan karakter maupun pewarisan nilai-nilai budaya dari tradisi yang sudah mulai tidak relevan dengan zaman. Masih banyak para orang tua, bahkan pendidik beranggapan, jika anaknya sudah mempunyai sikap positif dalam memelihara tradisi masyarakatnya, maka misi pendidikan dianggap selesai.
Padahal, sebenarnya tidak selesai di situ saja. Apalagi sistem pendidikan di negeri masih belum menemukan alas pijak yang mapan, perubahan kurikulum masih menuansai bersamaan dengan berubahnya rezim pemerintahan. Sementara di satu sisi, tantangan globalisasi makin menancapkan taringnya, semisal budaya pop, dan fasilitas internet yang bisa diakses kapanpun dan dimanapun, menjadi momok yang menakutkan bagi segenap orang tua, yang mempunyai anak usia dini.
Sebenarnya, semua itu merupakan bagian kemajuan peradaban manusia, namun apabila tidak adanya kesiapan secara mental bagi pemakainya, justru akan menjadi kemudharatan. Untuk itulah, perlu dipersiapkan dengan baik generasi-generasi penerus bangsa, agar siap menyongsong percepatan arus modernitas yang mengambil segmen akselarasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, meniscayakan kita untuk mengadakan perubahan dan perbaikan secara terus menerus dalam segala bidang kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan, yang selama ini kita terlibat didalamnya. Berpegang pada kata kunci,“pencerahan dan pemberdayaan lembaga pendidikan menuju sistem pendidikan yang lebih baik (good education)”.
Dengan selesainya mega proyek Jembatan Suramadu dan paket industrialisasinya telah berjalan. Satu sisi, merupakan berkah bagi masyarakat Bangkalan, umunya masyarakat Madura, karena diasumsikan akan membawa banyak perubahan yang signifikan, lebih-lebih aspek ekonomi, yang mewujud sebagai; terbukanya banyak lapangan kerja baru; lahan-lahan kosong atau mati akan menjadi laha-lahan subur produktif; akses informasi komunikasi yang efektif dan handal; bahkan prinsip time is money mau tidak mau harus menjadi performa kinerja dan produktifitas masyarakat.
Namun, pada sisi lain, kita akan dihadapkan pula pada suatu realitas yang kontra produktif,yakni kemungkinan-kemungkinantak terkontrolnya arus budaya luar yang masuk bersamaan dengan berjalannya industrialisasi; munculnyalife style baru bagi masyarakat. Atas dasar pemikiran di atas maka pemberdayan (empowering) sistem pendidikan di Bangkalan harus dijadikan dasar untuk merubah pola dan sistem kehidupan masyarakat Bangkalan, umumnya Madura yang kebanyakan masih polos.
Jalan pintas dan termudah yang dapat dilakukan adalah melalui program Empowering sistem pendidikan menjadi lembaga pendidikan yang kompetitif dengan menghasilkaanout put dan out come yang produktif. Sehingga icon penting dalam program industrialisasi pasca jembatan Suramadu yakni harapan menjadi “tuan di negeri sendiri” dan menjadi “pemain di kandang sendiri” akan segera terbukti dan terwujud.
Pada titik ini, pendidikan yang baik menjadi icon terpenting untuk mewujudkan generasi bangsa yang berbudaya dan profesional sehingga akhirnya akan menuntun pada terciptanya sistem pemerintahan yang bersih, bersih dari isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang selama ini telah mencabik-cabik harga diri bangsa Indonesia dan telah merusak kehormatan bangsa yang dikenal santun dan berbudaya.
Untuk itu, agar tugas berat ini menjadi ringan, butuh kerjasama antara pemerintah, insan pendidikan, serta masyarakat dalam skala umum, secara bersama-sama selalu dan terus berupaya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan pendidikan yang bagus.
Sekian. Salam Pergerakan.
Komentar
Posting Komentar